“Matikan sajalah teleponmu itu, Di!” Evan mengingatkan. Aku patuh, sebab pemandangan kebun teh cukup mengalihkan perhatian. Hijau dan sejuk sekali.
Siang cuaca cukup terik, dengan sajian alam memukau. Gumpalan awan putih bak kapas bersih, menambah pesona eloknya.
Aku belum merasa lelah, begitupun teman-teman yang masih tampak semringah.
Sekitar dua jam setengah, kami baru menaklukkan pos ke dua, Pos Lincing. Kami bertemu para pendaki lain yang baru turun, dengan wajah lelah, tetapi tampak puas.
“Istirahat dulu, dong! Lelah, nih.” Evan mulai mengeluh. Ia berjongkok di bawah pohon rambutan sembari mengeluarkan botol berisi air putih. Ia teguk separuh.
Aku pun berhenti, rupanya keringat mulai deras membasahi. Membuka tas punggung, tetapi tidak menemukan botol air putih. Sial. Aku menepuk dahi, gara-gara ibu jadi lupa membawa air.
“Nih!” Berbaik hati Bimo menyodorkan botolnya. Aku meraih sedikit kesal.
“Ya sudah, yuk, ah! Keburu sore!” ajak Bimo.
“Yok!” jawabku setuju, disusul Evan yang terbirit mengikuti.
Kulirik jam yang melingkari tangan, pukul setengah tiga, dan kami baru sampai Mahapena, pos ke tiga dengan sajian sabana yang raya.
“Woooy, ini indah sekali …. “ Aku berjingkrak kegirangan sambil melompat-lompat, dan semilir angin menyapu peluh yang terbit di pelipis.
Evan dan Bimo pun demikian, bahagia bukan main. Kehidupan kota telah membuat sabana ini seperti surga dunia.
“Foto dulu, yuk!” ajak Bimo sembari mengeluarkan ponsel pintar. Kami berpose sebentar, lantas mengunggah ke media sosial.
“Eh, Van, gaya fotomu selalu angkat dua jari, ya. Basi banget,” ejekku membuat wajahnya meredup seketika. Mulutnya bergerak-gerak, seperti hendak membalas, tetapi enggan.
Tidak ada satu pun dari dua temanku ini yang berani membantah tudingan atau serapah burukku. Bahkan, satu sekolah takut padaku. Prestasi lain yang membuat Cindy takluk dalam pelukanku.
“Ah, sudah, sudah! Ayo jalan lagi!” potong Bimo menengahi.
Suasana jadi berubah. Evan sedikit dingin sekarang, tetapi, mana aku peduli? Bodoh amat.
“Paling juga sebentar lagi dia nangis karena kepeleset,” gumamku sinis dalam hati, sewaktu melewati trek berbatu yang berhias lumut.
“Jancuk!” makiku keras. Dua rekan sependakian segera berhenti mendekat. Bukan Evan, tetapi justru aku yang nyaris celaka, sebab tanah berlumut yang licin.
Beruntung tangkai kokoh sebuah pohon membantuku selamat.
“Hati-hati, dong, Di!” saran Evan dengan wajah menahan senyum. Ini bisa menjadi kesempatan buatnya membalas dendam.
Bimo mengulurkan tangan, membantuku selangkah bersejajar dengannya. Dan perjalanan kembali dilanjutkan.
Semburat surya jingga menyebar di ufuk barat. Senja segera terbenam, beralih gelap. Keindahan langka yang baru kami nikmati setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan.
“Setelah ini kita sampai di Cemoro Sewu, atau Alas Lali Jiwo,” cakap Bimo yang paling hapal trek dan jalur.
“Emang ini mau dilanjut sampai puncak Ogal Agil? Yakin?” tanya Evan mencari kayakinan, membuatku dan Bimo berhenti sejenak, menatap Evan yang tampak ragu-ragu.
“Ah, cemen lu. Laki apa banci, sih?” ejekku sukses mencipta desah sebal Evan.
“Sudah, sudah. Kalian ini ribut mulu. Kita pasang headlamp, yuk!”
Dengan cekatan headlamp masing-masing sudah terpasang sempurna di kepala. Ada terang dalam gelap, seperti cahaya kunang-kunang dalam gulita kuburan.
Terdengar suara beberapa orang berbincang, para pendaki yang sepertinya mulai menuruni medan pendakian.
“Tuh, di atas, di puncak pasti banyak orang. Kita bikin tenda di sana nanti. Bermalam!” tantangku penuh percaya diri, lantas kembali melangkah dengan pasti.
“Tapi kata orang-orang Alas Lali Jiwo angker.” Evan bergumam, langkahnya berat.
Tanganku melambai, “eleh. Kamu takut tersesat? Jaman digital macam hari ini masih percaya begituan.”
Gelap terlaksana. Semilir angin membuat tubuh sedikit menggigil, meski telah terbungkus jaket cukup tebal.
Bintang bertabur indah di atas sana. Membentuk rasi yang tak kumengerti.
Ini pendakian yang cukup nekat. Entah, bagaimana kami bisa segila ini.
Di depan, jelas hutan dengan kawasan dipenuhi pohon cemara, bak raksasa pongah dalam gulita. Inilah yang disebut Alas Lali Jiwo, yang menurut orang-orang angker, bahkan menjadi alasan ibu mencegahku tadi. Beberapa larangan pantang dilanggar, jika ingin selamat dari keangkerannya. Namun, aku tak percaya.
Dengan hati-hati kami melangkah. Sebenarnya, memang cukup mencekam, gelap dan menakutkan. Tidak hanya itu, jujur, rasa takut mulai merayapiku. Tetapi demi ucapan pongah yang terlanjur keluar …
Ah, aku kebelet pipis!
“Bim, turun, yuk! Aku takut.” Benar, Evan sungguh takut. Tubuhnya bergetar. Kulihat Bimo pun demikian.
“Kalian pengecut!” ejekku sembari menahan keinginan berhajat.
Aku minggir ke tepi, sebelah sebuah pohon cemara yang tinggi, untuk melepas hajat yang tak lagi tertahan. Tanpa pernah kutahu, Bimo dan Evan, entah sudah ada di mana.
Karena, usai menutup resleting celana, saat berbalik, jantungku mencelos, kaget bukan main. Bukan Evan atau Bimo yang ada, melainkan …
“Cindy?”
Sungguh. Aku sungguh terkejut. Jantungku berdegup kencang. Untuk alasan keterkejutan yang luar biasa.
Aku tidak menyangka, bagaimana Cindy tiba-tiba ada di sini? Dengan baju yang sama sebagaimana yang tadi pagi ia pakai. Seksi dan menggoda.
“Kamu? Bagaimana bisa di sini?” Aku sebenarnya takut, dan mulai berpikir yang bukan, tetapi mencoba tenang serta berpikir, mungkin Cindy memang berniat menyusul. Ia tadi meneleponku, bukan?
“Ke mana Bimo dan Evan?” Aku mengedarkan pandang, tetapi Cindy sama sekali tidak angkat bicara. Ia bungkam seribu bahasa, dengan wajah mencekam, pucat pasi, tetapi tetap menggoda.
Ah, ini suasana yang tepat. Kami, hanya berdua.
Aku melepas tas punggung, menjatuhkannya sembarang, lantas, mendekatkan wajah, ke wajah yang lain, kekasihku.
Tidak sabar ingin kulumat bibir itu, lantas, melampiaskan segala hasrat yang bergelora. Namun, saat wajah kami sudah sangat dekat, dan bibir kami nyaris bertemu, ia mundur. Berjalan menjauh. Entah hendak ke mana, tetapi aku mengekor.
“Mau ke mana? Eh, mau di mana?” godaku tak mendapat balasan. Ia terus berjalan ke hutan cemara yang lebat, dengan rumput liar di sana-sini. Setiap depa langkahnya selalu meninggalkan bau aneh, tidak seperti harum parfumnya yang sudah hidungku hapal, tetapi, seperti bau anyir, dan amis.
Aneh sekali.
Aku terus mengejar, mencoba meraih tangannya dan mencumbu segera, tetapi ….
“C-Cin-Cindy …. “
Aku baru sadar, sewaktu mataku turun menelisik ke bawah, ia berjalan tanpa berpijak di atas tanah. Seketika bulu kuduk berdiri sempurna. Bergetar dada, lemas seluruh tubuh.
Ia bukan Cindy. Bukan. Aku mundur, urung mengikuti jejaknya. Tetiba ingat bacaan Fatihah, Ayat Kursi, dan ayat-ayat yang kerap ibu lantunkan, tetapi, bibirku kelu, otakku lumpuh, ingatanku kosong. Langkahku berat, tidak mengerti harus ke mana. Tidak sadar bahwa aku hanya berputar-putar di kawasan yang tetap sama.
“Aarrggh …. “ Aku jatuh, terjerembab di semak. Meringkuk sekalian di sana, menahan takut.
Dalam jatuh, air mataku berlinang. Dalam gelap, kulihat bayangan putih dengan rambut panjang di sana, di sebelah sebuah pohon cemara.
Pahaku bergetar hebat. Pun bibir ini, yang terasa sekelu mungkin.
Kudengar ramai suara orang, ingin teriak minta pertolongan, tetapi tak kuasa. Lagipula, suara-suara itu tanpa ada rupa. Di sana-sini hanya gulita, dan headlamp yang kukenakan sudah raib entah di mana.
“Bu … Ibu … Aku takut.” Di tengah otak yang lumpuh, aku menyesal telah mengabaikan ibu.
“Bimo … Ervan …. “ Di antara air mata yang berderai dan keringat dingin yang bercucur, aku teringat keduanya. Oh, aku telah meremehkan mereka tadi.
Tidak terkira rasa sesal itu, setara dengan rasa takut yang mendera. Karena, bayangan putih dalam hitam, dengan rambut terurai panjang nan menyeramkan, aku rasa ia mendekat.
Ya, ia mendekat. Seiring degup jantung yang berpacu cepat.

Suara Gaib
Suara gamelan melengking nyaring, menambah suasana kian mencekam.
Aku takut. Sungguh.
Ia dekat, tenggorokanku tercekat, hingga, sukmaku meninggalkan jasad, dengan sakit yang teramat.
___o0o___
Sudah dua pekan Adi belum ditemukan. Tim SAR tidak henti melakukan pencarian, tetapi mulai menemukan titik terang saat seorang pencari kayu mengabarkan telah menemukan jasad yang sedikit membusuk, tertutup rerumputan semak, tepat di mana Adi meninggalkan air kencingnya terakhir kali.
Jasad yang diduga kuat adalah Adi, mulai dievakuasi. Hingga sore hari baru selesai.
“Terima kasih, Pak atas bantuannya,” ucap kepala tim kepada laki-laki tua pencari kayu itu. Ia tak menjawab. Dengan wajah pucat dan menyeramkan saat dipandang lamat, ketua tim segera mengambil langkah, berniat bergabung dengan yang lain, merinding.
Sementara di rumah duka, sang ibu menangis tiada henti. Kehilangan putra semata wayang adalah sebuah pukulan telak.
Cindy, dengan mengenakan pasmina hitam, duduk di sebelah perempuan yang seharusnya menjadi calon mertuanya. Wajahnya pucat. Air matanya yang berderai tanpa suara adalah bukti nyata betapa ia sangat kehilangan.
“Hati-hati.” Itu, benar-benar menjadi kalimat terakhir dari Cindy yang Adi dengar.
Selamat jalan, Adi. Semoga Tuhan mengampuni dosa-dosamu. Kejadian ini memberi pelajaran berharga bagi kami, untuk selalu menghormati orang tua, terutama ibu. Berbicara santun. Tidak bertindak semena kepada siapapun. Berpikir positif. Menjaga niat dan hati dari perkara tercemar. Di manapun. Karena mereka, wanita-wanita gaib mengintai, untuk menjebak sesiapa yang menyebalkan.
___o0o___
Cerita ini hanya fiktif, tetapi ide diangkat dari kisah-kisah yang kadung nyata.
Malang, malam jum’at; 26 september 2019
Sumber: kaskus